Berpranala

Palita Rana Putinagari
2 min readJun 29, 2020

--

Suatu hari nanti ketika akhir sudah ditanduk, akannya kita berkumpul dalam suatu waktu yang menyatu.

Dan di kala itu gejolak akan hengkang dari diri yang bertahun meredam. Pandangnya di sudut menjadi distraksi semesta yang megah.

Masa depan akan terpampang hebat di depan (amin) namun ingatan yang bernoda terpaksa jalan ke kiri dan kanan.

Lalu jerah jas dan toga.

Lalu tepuk tangan yang meriah.

Lalu sautan yang menggema.

Lalu senyum yang ditawan.

Namun hukum alam adalah suatu ketetapan. Predator mencari mangsanya. Dan ketika sudah dapat, tatapannya akan terkunci di sana.

Terkunci…. dan.. akan.. terus.. terkunci. Sampai akhir karnaval itu tiba.

Momen bersejarah akan segera datang. Penentu nasib rahasia kapsul akan segera terungkap.

Desak-desik cendikia memang menggoda, namun apalah daya, lampu sorot sudah menyala. Memberanikan asa melempar harga. Debaran semakin menyerang dan sebentar lagi akan meledak. Apa daya, intuisi sudah berpranala.

“Sekarang belum terlambat untuk merubah pikiran” — dan saat itu juga, niat akhirnya terbaca.

*gleb*

*..…*

Syukur-syukur apabila tidak berakhir di kamar beraroma paracetamol. Namun jika raga masih diizinkan untuk melanjutkan, maka ia akan tersenyum manis... dan ikhlas. Lawannya pun begitu, seakan terbayang apa yang akan dan telah terjadi.

Lengan akan menjulur telapak, telapak akan menjulurkan jemari. Diterima dengan gestur yang sama dan pegangan yang erat.

Begitu erat, untuk memaafkan gundah yang terkutuk. Ucapan yang menghantu. Kenangan yang bertaut. Dan, hati yang tersentuh.

Terakhir, dan yang paling terakhir, akan dilontarkannya ucapan: “Sukses terus, selamat menjalani kehidupan berikutnya. Semoga bahagia”

Lalu lepas, senyum, dan menjauh. Damailah masa lalu.

(Semoga).

p,r. ditulis pada H-435

--

--