Catatan untuk Penulis dan Perasa

Palita Rana Putinagari
2 min readMar 30, 2020

--

Sudah lama aku mengagumi kata-kata, seakan memberi nyawa kepada alas yang tak berdosa. Kata — jika digunakan dengan eloquen, dapat mencairkan batunya sanubari dan dungunya sebuah akal. Kekuatannya tak main-main, bahkan ia dapat mengubah kepercayaan seseorang dalam sekali ucapan. Selalu indah ketika merefleksikan kembali kata-kata yang kurangkai satu, dua, bahkan sepuluh tahun ke belakang. Seakan kata adalah mesin waktu yang dapat memposisikan diri kembali di momen itu, perasaan itu, dan penglihatan itu.

Namun… kata-kata itu juga seperti kapsul waktu, kusimpan sendiri dan kukubur rapat-rapat. Sampai beberapa tahun lagi, kubuka dan kukenangi. Kadang, aku ingin kata-kata itu berguna bagi khalayak. Aku ingin jadi pengarang, penyair, penulis lirik lagu… tapi selalu tertahan karena ada yang lebih baik, lebih puitis, dan lebih kaya akan padanan kata. Lagipula… aku obsolet. Rangkaian kata-kataku yang gemilang hanya muncul ketika sedih dan merasa nostalgik. Ya, mau bagaimana, hanya ketika itulah otakku bekerja. Saat sukma teraniaya— kata-kata melegakan semua.

Mungkin ini sedikit terdengar absurd, tapi kutipan dari novel Sad Girls oleh Lang Leav berikut menjustifikasi dan membuatku nyaman dengan menghidupkan kata yang berbasis ingatan melankolis. Bisiknya mendayu, ‘tak apa, kesedihan juga berupa nikmat semesta raya.’

Jadi begini, Catatan untuk Para Penulis dan Perasa:

Audrey: “A lot of literature is about struggle. But I don’t think all writers are sad. I think it’s the other way around — all sad people write. It’s a form of catharsis, a way of working through things that feel unresolved, like undoing a knot. People who are prone to sadness are more likely to pick up a pen.”

Rad: “And because they do, some will inevitably end up as writers.”

Rad: “Do you know whats ironic about writers?”

Audrey: “What?”

Rad: “Writers take things that are deeply personal, things said to them in confidence, often during moments of great intimacy, and strip them down into words. Then they take those words, naked and vulnerable, and give them to the world. Yet in spite of this, writers struggle more than most when it comes to sentimental attachment. They only write about things they’ve felt deeply. That’s the thing about writers — on one hand, everything is sacred to them, but, on the other, nothing really is.”

Audrey: “I think you're right, though. Some of my colleagues have admitted to sacrificing their integrity for a really good story, I suppose the act of writing is in itself a form of betrayal.”

Rad: “I agree. Writing is a conduit. It opens up a passageway into the past. Not just for the writer, but for the reader too. Both readers and writers are linked by the commonality of human experience.”

--

--