COVID-19: Pemerintah Indonesia, Pilih Masyarakat atau Ekonomi?

Palita Rana Putinagari
4 min readMar 30, 2020

--

Akhir-akhir ini negara dihebohkan dengan pandemi global Coronavirus Disease, atau yang biasa disingkat dengan COVID-19. Setiap harinya, di dalam negeri sendiri ada 100–200 kasus tambahan dengan tingkat mortalitas di Indonesia yang cukup tinggi, yaitu di angka 10%. (Per 30 Maret 2020, Positif Corona: 1.414, Meninggal: 122). Himbauan untuk #dirumahaja sudah diterapkan selama dua minggu, dan semua sekolah maupun kantor diliburkan agar setiap orang dapat menjaga physical distancing-nya dan menerapkan work from home. Walaupun begitu, banyak masyarakat, terutama para generasi muda merasa kebijakan ini masih sangat kurang efektif — serta mendesak pemerintah untuk segera memberlakukan lockdown negara. Lantas, mengapa pemerintah tak sigap melaksanakan apabila kebijakan tersebut adalah yang kebanyakan negara tengah terapkan saat ini? Mengapa tak contoh saja apa yang sudah dilakukan? Mengapa Jokowi dengan lantangnya menolak lockdown karena alasan karakteristik, budaya, dan ekonomi Indonesia yang berbeda? Tak berartikah nyawa bangsa yang telah hilang demi ekonomi?

Baik. Coba refleksikan sementara gambar ini.

Gambar tersebut saya ambil dari salah satu pengguna Twitter (maklum, anak Twitter banget.) Lalu sekilas, yang mana yang akan Anda pilih?

Manusia waras darimanapun akan menjawab ‘people’. Karena negara yang hebat terbentuk dari bangsanya yang hebat pula. Sekilas, anda akan menganggap ekonomi sebagai investasi asing yang negara ingin pertahankan, maka daripada itu Anda berfikir “money can be recovered, people don’t.” Jika Anda membantah hal tersebut, maka artikel ini bukan untuk Anda.

Ekonomi yang didilemakan pemerintah saat ini juga berupa pemasukan, biaya hidup, dan kebutuhan dasar rakyat, terutama masyarakat marjinal. Ekonomi di sini menyinggung tentang seberapa lama warga rentan dan pekerja informal dapat bertahan hidup tanpa uang karena wilayah yang di karantina. Jadi, ekonomi juga berbicara tentang masyarakat. Maka tidak apple to apple apabila gambar itu mendikotomisasi ekonomi dan masyarakat. Mungkin yang lebih tepatnya adalah… ekonomi atau kesehatan.

Mungkin ini yang disebut dan dibimbangkan oleh pemerintah. Presiden Joko Widodo juga mengkaji berbagai skenario (dari yang ringan sampai yang terburuk) akan dampak COVID-19 terhadap perekonomian rakyat kecil menengah. Menurutnya dalam skenario sedang, sopir angkot dan pengemudi ojek dapat mengalami penurunan pendapatan 44%. Para pedagang 36%, petani dan nelayan 34%, dan buruh 25%.

Penulis juga sempat berbincang dengan salah satu pemilik usaha kecil, tempat makan favorit mahasiswa di sekitar Sekeloa — yaitu Bu Tatang pemilik Warung Bu Tatang. Selain murah meriah, mahasiswa juga datang bergerombolan ke tempat ini karena makanannya yang terasa seperti masakan rumah. Ketika hari Rabu, 26 Maret Bu Tatang diwawancara di kediamannya, Warung Bu Tatang bahkan sudah ditutup. “Ini udah hari ketiga Ibu tutup warungnya. Anak kosan pada pulang semua, jadi kalau buka malah rugi. Ya, paling pendapatan biasanya cuma bisa buat makan beberapa hari. Makanya ditutup, karena ga sanggup bayar yang kerja di sini. Ini juga kalau belanja ke pasar udah ngutang.”, ujar Bu Tatang.

Tanpa uang kas yang masuk, UMKM — terutama rumah makan dan toko kecil — akan perlu segera memotong jumlah staf atau menutup usahanya sepenuhnya. JPMorgan Chase Institute memperkirakan bahwa rata-rata bisnis kecil memiliki cadangan uang untuk 27 hari, namun kenyataan di Indonesia dapat lebih singkat dari itu karena kita masih negara berkembang.

Courtesy: The New York Times

Mari kita berkaca dari negara tetangga. India memulai karantina wilayah (lockdown) tanggal 23 Maret dan negaranya telah menjadi kekacauan yang besar sejak saat itu. Para tunawisma mengisi jalanan, masyarakat rantau mencoba keluar kota, dan keluarga yang kelaparan mengais-ngais makanan di jalan, membuat tempat publik semakin ramai (reversal effect). “Kalian takut penyakitnya hidup di jalanan. Tapi aku lebih takut kelaparan, bukan korona,” kata Papu, 32, yang mencoba keluar dari wilayah karantina.

Tak hanya itu, dalam masa karantina kebanyakan bisnis akan tutup dari yang besar sampai yang kecil. Bahkan, jika waktu karantina akan ditahan sampai batas waktu panjang yang belum ditentukan, akan banyak bisnis yang nantinya perlu mengurangi biaya besar-besaran — dan itu termasuk PHK massal. Jika PHK massal terjadi, yang terkena duluan adalah masyarakat marjinal. Pengangguran tidak hanya menimbulkan masalah di masyarakat, tetapi juga sampai ke tingkat individu

Lalu bagaimana? Masih berfikir ekonomi dan masyarakat dikotomis?

Pemerintah perlu mencari titik temu yang dapat meminimalisir dampak di segi ekonomi maupun kesehatan, kedua hal yang berbeda tetapi dependen antar satu sama lain.

Salah satunya, pemerintah dapat mencairkan Universal Basic Income (UBI), untuk memastikan setiap orang bisa berdiam di rumah tanpa kehilangan penghasilan. Upaya menjamin social safety net yang lain adalah memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT), bantuan dana melalui Program Keluarga Harapan (PKH), Program Sembako, dsb. Realokasi dan rombak besar-besaran APBN perlu dilakukan agar kas masuk kepada kebutuhan genting masyarakat saat ini. Ya, benar pemerintah sedang mengerjakan program-program tersebut. Namun, menurut Bpk. Sonny Mumbunan, pendiri Basic Income Lab, pemerintah setidaknya membutuhkan Rp 168 T (6% dari PDRB DKI Jakarta) untuk melindungi segenap bangsa rentan ekonomi yang jumlahnya sampai 40%. Sedangkan sampai saat ini Menkeu Sri Mulyani masih berencana untuk memberikan insentif Rp 38 T. Pertanyaannya, apakah itu cukup? Apakah pemerintah sanggup untuk menjamin perekonomian warga negaranya apabila berani mengambil tindakan lockdown?

Pasal 5 UU 6/2018 menyatakan, “Pemerintah pusat bertanggungjawab atas kebutuhan hidup dasar orang (seperti medis, pangan dan pakaian) dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina, dengan melibatkan pemerintah daerah dan pihak terkait.”

Maka pemerintah semestinya sudah bisa berpedoman kepada UU di atas. Lantas, apakah pemerintah sudah sanggup menanggungnya? Mungkin ini yang akan terus menjadi pertanyaan sampai pemerintah dapat menentukan suatu kebijakan pasti. Yang jelas, semoga apapun itu yang diputuskan dapat menjadi efektif bagi ekonomi dan kesehatan warga negara Indonesia.

--

--